Selasa, 17 Januari 2017

Deg deg ser

Pernah merasakan jantung berdegup kencang seolah olah mau copot dari rongganya? Alahhh Udah lama ma kalo itu Masa masa jadi ababil (abege labil) Ya kali sekarang masih kayak gitu Umur udah lewat seperempat abad? Gak jamannya lagi Bukan masa kita lagi Kita sudah tuir, no deg deg an more.... Sekarang itu saatnya bangun jalinan serius Biar nikah, punya anak Kelar hidup kita... Lho Mangap mangap dong dengar jawabannya Kuatir resah dan malu mengakui bahwa rasa itu baru muncul sekarang. Jadi aku gak normal gitu?? Ga kebayang kalau dalam sesi curhat dapat jawaban seperti itu dari teman. Maka ras deg deg an nya kusimpan rapi dalam hati Setahun memendam rasa suka kagum atau apapun itu Yg penting bercampur rasa kala melihatnya Dan disuatu kesempatan entah mukzizat apa kami duduk berdekatan. Semua rekan disekitar yg entah sengaja atau tidak tiba tiba pergi berjamaah, dengan alasan kamar mandi edisi "setoran". Mereka mungkin berharap mukjizat bagi temannya yg sudah seperempat abad tidak pernah punya tambatan hati kali ini bakalan "relationship goals" Dan aku sendiri??? Yaaaa harapanku bahkan jauh melebihi mereka. Aku sangat berharap setidaknya kami bisa bicara atau basa basi atau setidaknya ngorbrol sekalipun krik krik. Jantungku mulai memompa lebih kencang dan semakin kencang. Kemudian aku melipat tangan dan mulai memohon keajaiban Tuhan. Maka Timbullah keinginan untuk memulai pembicaraan dan tntu keinginan itu dariku karena yg bersangkutan sepertinya ogah dan cuek asyik dengan memainkan hp di gengamannya. Hahahaha. Nasib nasib... Sakit memang kalau kita yg suka sedang yg kita suka sama sekali ga ada rasa. Namun ketika sepatah kata hendak terlontar, sepertinya kata itu tersumbat di kerongkongan. Aku bahkan tidak bisa memaksanya. Aigoooo Kemudian lembaran take n list datang ke arah kami. Dan eng eng eng.. Dia tak punya pulpen Aku cengar cengir dan siap menyambut permintaannya Namun dia meminjam pulpen dengan gaya bossy dan sudah pasti tidak melakukan hal yg diperintahkan seorang mentalis "Tatap Mata Saya" Padahal mata itu sudah bersiap menyambut tatapannya. Dan zonkk... Kemudian dia memberi take n list untuk saya isi. Kali ini dia melihat sepersekian detik. Dan aigoooo jantung berdebar lagiiii. Namun beberapa menit berlalu Masih tidak ada mukzijat Mungkin mukzijat masih dalam nyanyianku Dan belum untuk menjadi nyata Atau mungkin dia bukan mukzijat yg akan di beri oleh Tuhan Atau mungkin ada Mukzijat dalam orang yg lain Yg siapa dan entah dimana Aku juga belum tahu Hanya Tuhan yg tahu 😇😇😇

Rasa apa saja

Jadi kalau bercerita tentang sedih, Kenapa harus diiringi dengan air bening di pelupuk mata Jatuh lalu hilang dan kering Dan ketika bercerita tentang tawa Mulut mengakak, bahagia membahana Terngiang lalu bisu dan hening Ternyata itu semua adalah masalah waktu Waktu adalah kata yg paling sejati Sekalipun sedih menjuntai, panjang dan melelahkan Bukan berarti dia abadi dan tak mau pergi Itu masalah waktu dan kapan kamu tak menginginkannya lagi Seperti air mata yg kering Biarkan luka terbalut cepat Lekas bahagia dan rajutlah suka Dan apakah bahagia kekal??? Rasa senang, rasa aman, tenang membuat percaya diri Melompat lompat keluar dengan riangnya Tapi seketika bisa saja pergi Maka tawa maupun tangis, sedih maupun senang, bahagia maupun derita tidak ada yg kekal namun waktu yang akan mengilir mereka Hari ini mungkin tawa Lusa mungkin derita Atau minggu depan bisa saja bahagia melanda Maka cintai rasa sakit Sayangi luka Hargai rasa bahagia Sekalipun rasa selalu berganti silih berganti Maka rasanya akan selalu sama Kamu tetap menginginkannya sebagai proses hidup 😇😇😇

Rabu, 13 Juni 2012

Diam kau munafik
Mulutmu dipenuhi bulir- bulir jalan yang becek
Merentas merayu namun menyesatkan
Kau buat aku terpingkal dan akhirnya terjungkal

Apalagi yang akan kau suarakan?
Kumpulan meja-meja terbuang dengan pulpen dan buku diatasnya,
Atau merapi yang sudah muak menahan mual?
Atau berita trafik jakarta
Atau tragedi Siti Nurbaya
Atau...

Dan kesemuanya itu dipergunjingkan
Ditambah penyedap rasa pada kejadian yang masih perawan
Dan akhirnya air keruh itu mengalir ke jalanku
Dan membuatku menjadi tersangka
Dengan otak hitam dan cacat pada nama

Ahhh...
Diam kau
Sekali lagi
Diam!!!
Dikhususkan untuk para manusia yang munafik
Pesan “ bertobatlah kerajaan Allah sudah dekat”
Medan 30 mei 2011
terbang. . .

Aku dapat beasiswa ke Belanda
Aku Ke Amerika
Aku ke Kanada
Aku ke Australia
Aku kesini
Aku kesitu
Mataku beputar-putar
Mulut tenganga lebar
Menyaksikan daun muda berterbangan dari pokok
Dan tumbuh bertunas di pokok lain

Akhh terlalu...

Dikhusukan untuk mahasiswa indonesia yang belajar di luar negeri
Ingat pulang kampung ya,Indonesia membutuhkanmu



RicHH

Barangkali dari sebutir debu liar
Yang kau teguk dari serapah jalanan
Membuat liang besar dan mengancung tanganmu dalam dekapan kubur
Wah wah
bergondol kilauan memancar dari jemarimu
Selang kemudian memancar dari leher dekilmu
Wah wah wah

Kamis, 31 Mei 2012

Menantu Simpang

“Aku ingin kau bertemu dengan orang tuaku sebelum pergi ke Jakarta.” Gundahnya saat menikmati keinginanku untuk melanjut gelar masterku di kota nomor satu di Indonesia. Tempat berjubelnya para wakil rakyat yang selalu mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan dan orasi pribadi. Aku hanya diam saja, ku biarkan dia kembali menceramahi dan mencelotehiku dengan segudang petuah-petuah dan nasehat. Aku sudah terbiasa dengan itu, bahkan telingaku sudah berdamai dengan suara bisingnya seperti seorang anak patuh pada nasehat bapaknya.
“Iya. Karena kamu memaksa”
“Jadi karena terpaksa?”
“Ngkkk..”. aku sedikit ragu meneruskan jawaban. Kalau sudah begini Mas Sandi akan lepas tangan membiarkanku bergumul dengan keputusanku. Dia tidak mau melontarkan kata-kata pedas yang akan menyakiti. Pria yang sangat amat sabar menghadapi orang keras kepala seperti diriku. Kembali aku menjadi bingung. Satu sisi aku tidak mau menyakiti hatinya yang teramat baik, disisi lain aku tidak siap bertemu dengan orangtuanya yang dikenal sebagai politikus nomor wahid yang amat disegani orang. Yang menambah keenggananku orang tuanya suka mengkritik, bersikap pedas dan terkenal kurang ramah di lingkungannya. Aku tak bisa membayangkan orangtuanya bersanding dengan orangtuaku yang hanya petani sederhana dari kampung. Apa jadinya? Mungkin setiap hari dia akan mengajak ayah minum kopi sambil mengupas habis kabar- kabar politik yang simpang siur di negeri ini. Dia akan beradu argumen dengan seorang petani kecil yang hanya tahu menanam padi diatas tanah yang hitam kecoklatan. Dan bagaimana kalau ayahku tidak bisa mengimbanginya? Mungkin dia akan menyindir atau mencela ayah, dan menyalahkan ayah kenapa tidak punya sekolah yang tinggi seperti dirinya. Atau kemungkinan terburuk dia akan memecatku sebagai menantunya. Ooh aku tidak bisa membayangkannya. Disaat pikirku sibuk berkutat dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, Mas Sandi sedikit mengagetkanku dengan tepukan lembut di pundak. “Tidak usah khawatir Sar, orangtuaku tidak seperti yang dipikir orang orang. Juga tidak seperti yang kamu bayangkan sekarang,” katanya sambil mengelus rambutku. Aku sedikit surprise dengan perkataannya yang bisa menebak apa yang ada di pikiranku. Aku menatap matanya yang sarat ketulusan. Matanya yang selalu menenangkan dan membuat Aku menjadi tidak tega menolak permintannya. Toh hanya sekali fikirku. Setelah itu aku akan belajar giat menempuh masterku, supaya aku semakin pantas bersanding dengan Mas Sandi.
“Baiklah Mas. Aku mau bertemu dengan orangtuamu.”
***
Pagi itu gerimis belum mereda juga. Awan pekat gelap terbentang di langit yang luas. Sesekali terdengar suara petir yang membuat semua orang merasa lirih. Aku menjadi kacau, pertemuan hari ini terusik oleh alam yang tidak mau bersahabat dengan hari pentingku. Aku menggerutu kesal. Mas Sandi sudah dua kali menelponku dan menanyakan keberadaanku. Aku menjadi tak karu-karuan. Kemudian kuputuskan untuk pergi tanpa menunggu redanya gerimis pagi ini. Pakaian yang seminggu lalu baru ku beli basah oleh rintikan air hujan, begitupun denga make up, lipstic,dan tatanan rambut yang sudah ku bentuk sedemikian rupa. Dandanan yang sengaja kupersiapkan demi pertemuan pertama dengan orangtua Mas Sandi. Tapi kini semua berantakan. Ada sedikit perasaan menyesal ketika menolak tawarannya untuk menjemputku ke rumah.”Kejadiannya pasti akan berbeda”. Sesalku.
Mas Sandi menyambutku dengan senyuman. Katanya dia sedikit terkejut dengan tampilanku kali ini. tapi menurutnya kelihatan lebih dewasa dan juga cantik. Ahaiii pujian yang membuat pipiku semakin memerah.
“Ma, pa... ini Sarai Kekasih Sandi.” Kata Mas Sandi memperkenalkan aku kepada orangtuanya. Brrr tiba tiba seluruh tubuhku menjadi dingin. Untuk mengangkat wajah rasanya sulit sekali. Aku berusaha menyingkirkan ketidak pede an ku, tetapi malah membuatku semakin gugup.
“Sarai Marselina Om, Tante...” ucapku sambil menyodorkan tangan kanan.
“Ehmmm” papanya mendehem sambil menjabat tanganku. Aku tidak mengerti apa masuk dari dehemannya. Tapi kuputuskan untuk tidak mencari tahu. Berbeda dengan mamanya yang terlihat lebih ramah. Dia tersenyum saat bersalaman denganku.
“Sarai, kamu lulusan dari mana?” tanya ayahnya yang membuat aku terbatuk batuk di meja makan.
“ USU Om” jawabku singkat
“Fakultas dan jurusan apa?” tanyanya lagi
“Fakultas hukum jurusan hukum perdata Om.” Jawabku sedikit ragu.
Ayahnya memicingkan mata. Dan memberhentikan santapanya sejenak. Pikirku sudah mulai kalut. Pasti aku akan diajak berduel, mengomentari kebijakan hukum,menanggapi opini-opini pemerhati serta pakar pakar hukum yang yang berceloteh di ruang publik, merespon kebijakan pemerintah mengenai pembangunan gedung DPR yang baru, atau Menanyakan argumenku mengenai koruptor kakap yang membelenggu negeri ini. Uhhh ini akan sangat melelahkan.
“Kata Sandi kamu akan melanjut gelar Mastermu. Apa benar begitu?”
“Huhft” ternyata tebakanku meleset jauh. Aku mengambil nafas panjang kemudian melirik mas Sandi. Dia hanya tersenyum dan memberi isyarat untuk melanjutkan jawabanku.
“Iya Om.”
“Dimana?” tanyanya penuh selidik.
“Kebetulan aku mendapat beasiswa di Universitas Indonesia.”
“Oww. Kenapa tak kepikiran mengambil master di luar negeri? Lebih kualitatif,
terjamin, dan lebih bergengsi. “
Nyaliku ciut. Rasa tidak sukaku mulai muncul satu persatu.
“Jangan salah Om, lulusan dalam negeri juga tidak kalah berkualitas dengan lulusan luar. Terutama dari segi afektifnya. Banyak lulusan luar negeri yang berkecimpung dengan urusan bangun membangun negeri ini, tapi nyatanya apa mereka malah perkaya diri sendiri, melakukan studi banding, faktanya hanya jalan jalan keluar negeri, mereka hanya perhitungkan durasi tetapi tidak melihat aspirasi. Sok sok interpelasi tapi tak ada reaksi, Hanya sesumbar mengucap janji tapi semua basi. Mengemborkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, ah ternyata mereka yang menjadi biangnya.
Untuk apa lulusan seperti itu? Hanya menjadi pengeruk disaat semua merasa sakit. Huh.”
Tiba-tiba aku merasa terlalu banyak omong. Dan memang benar ayahnya Mas Sandi menatapku dengan serius. Kulihat Mas Sandi juga mengaruk garuk kepala. Aku semakin takut, manakala ucapanku terlalu lancang. Dan pada akhirnya itu menganggu hubunganku dengan mas Sandi. Takut kalau kalau ada intervensi, ah intuisiku mulai ngaco.
“Pemikiran kritis.” Lanjutnya kemudian.
***

Perdebatan yang intens kemaren sore, membuat aku sedikit runyam. Aku sadar ayahnya adalah kaum intelek yang punya pemikiran yang cerdas sekaligus kritis. Tak luput juga dengan urusan menantunya. Dia seperti korektor handal yang mencoba memahamiku dengan pertanyaan-pertanyaannya yang pelik, bisa dibilang diluar kebiasaan orangtua pada umumnya. Tapi tak bisa ku pungkiri, aku memang tidak menyukai sifatnya yang terlalu mendikte dan mengetes kemampuan seseorang. Terlalu interogatif. Sekarang semakin jauhlah harapan untuk bersatu dengan orang yang paling kusayangi karena mendapat nilai minus dimata orangtuanya. Tiba tiba mas sandi menelponku. Aku sedikit gugup dan penasaran mengenai pembicaraan kali ini. Jangan jangan dia mau mengakhiri hubungan kami karena ayahnya merasa tersinggung dengan ucapanku kemaren. “Halo Mas...”
“Sar Mas mau ketemu dengan Sarai.”
Aku terdiam. Ada yang berbeda dengannya hari ini. kelihatan sangat serius. Aku semakin tambah penasaran. Kututup novel “wuthering heights” yang seharian menghias mataku.
“Ada apa Mas? kelihatannya sangat serius.”
“Iya sar. Ini mengenai ayah.”
Benarlah dugaanku kali ini pikirku. Hatiku berkecamuk hebat. Keringat mulai membentur kulit dan menyatu.
“Ayah meminta kamu untuk bertemu kembali dengannya.”
“Apaaa?”
“Kamu keberatan?”
“Sangat keberatan” jawabku dalam hati. Pertemuan pertama saja sudah kacau, apalagi untuk pertemuan berikutnya? Atau jangan-jangan ayahnya merasa terpukul dengan jawabanku kemaren sehingga dia menyuruhku untuk datang dan mengajakku berduel. Paling tidak untuk menyamakan skor atau bahkan mencoba menyudutkanku. Ohhh aku harus antisipasif kali ini.
“Ayah kagum denganmu Sar,”
Uhukkk...uhkkk....uhkkk... aku menjadi terbatuk batuk mendengar pernyataan Mas Sandi. Sedikit lelucon itu mengundang gelak tawa.
“Kamu tahu... ayah orangnya sangat terpandang. Belum ada orang yang mengalahkannya berduel, apalagi adu argumen. Dan pagi itu, kamu telah merubah semua. Kamu membuat ayah ternganga. Dia merasa berbeda kali itu. Dia tidak punya satu peluru kata pun yang ampuh untuk mengalahkanmu. Kamu memang hebat sayangku..”.
Siang itu aku merasa tersanjung, dan terhuyung di hembus sang angin. Aku hampir tak percaya namun itulah kenyataannya. Ayah Mas Sandi ternyata menyukaiku. Tak sadar aku menjadi keracak seketika. Tak pernah terpikir olehku orang yang paling kusegani ternyata tertawan hatinya.
Tapi ini belum saatnya untuk bersantai. Aku harus menghadapi pertemuan berikutnya. Aku menjadi bingung harus bersikap apa, mengiyakannya atau ikut terhanyut dalam suasana. Untuk itu kuminta pertimbangan dari mas sandi. Mengingat aku sukar mengirit emosi. Lebihnya yang kuhadapi bukan orang sembarangan melainkan bakal calon mertuaku nantinya.

***

Laju terik mentari terasa menghangatkan otot-ototku yang regang. Sinarnya menembus kulitku yang gelap. Udara pagi ini cukup bersahaja. Aku bisa menyelesaikan lari pagiku dengan lancar tanpa hambatan. Berkeliling di lokasi mantan almamaterku terasa memberikan nuansa berbeda. Empat tahun aku disini mengenyam pendidikan rasanya seperti masih kemaren sore.
Sore ini jadwal pertemuanku dengan calon mertua. Aku sedikit geli membayangkan apa yang sedang dilakukannya dirumah. Terbersit pikiran iseng diotakku. Mungkin ayah Mas sandi sedang sibuk menyusun strategi dan tata aturan pertemuan kami. Bahkan mungkin akan menunjukkan konduite itu kepadaku. “Hahaha” tawa tergelak gelak sendiri.
“Sar.. Mas jemput kamu yah?”
“Enggak mendung kok mas?”
“Jadi harus menunggu mendung?”
“Aku bisa sendiri.”
“Yakin?”
“Im sure.”
Tuttt...
Tidak ada kongkalikong lagi dengan waktu. Secepatnya harus mengkomposisikan tampilan yang menarik. Mungkin pertemuan ini akan menghasilkan konsensus berupa pertunangan. Aku mulai berhayal tinggi tapi lagi-lagi hambatan merusak suasana. Alasan biasa“traffic jam”.
“Maaf Mas saya terlambat.” Ujarku tergopoh gopoh meraih Mas Sandi
“Tidak apa apa. Tenangkan dirimu dulu.”
“Macet Mas.”
“Ayah sudah menunggumu.”
“Dimana?”
“Di ruang tamu.”
Mas Sandi menemaniku menemui ayahnya di ruang tamu. Tampak ayahnya sedang mengaduk ngaduk teh yang baru disuguhkan pembantu dirumah itu.
“Duduk.” Katanya ketika melihat kedatanganku.
Aku menurut saja mendengar nadanya yang sepertinya memerintah.
“Kamu terlambat hampir 60 menit.”
“Maaf Om. Jalanan macet.”
“Kau tahu hal apa saja yang bisa dilakukan dalam 60 menit?”
Pertanyaanya menyulut emosiku. Tapi masih kucoba menahan.
“Banyak hal.” Jawabku acuh.
“Bodoh.” Balasnya
Amarah naik ke ubun-ubun. Ingin segera kulayangkan tinjuku ke mukanya yang penuh sinistis. Aku melirik mas Sandi yang sedari tadi memperhatikan kami di balik pintu. Dia mengusap usap dadanya, isyarat padaku agar tetap menjaga emosiku.
“Sekarang kamu bisa pergi.”
“Apa???”
“Kamu tuli?”
Ohh... kali ini sudah final. Amukku bergejolak berapi api.
“Sombong sekali anda. Anda pikir saya terima diperlakukan seperti ini. Saya bukan kaum proletar yang mengemis remah remah anda. Saya datang kesini dengan niat baik. Kenapa anda perlakukan saya seperti binatang!!!” dengan sigap tanganku mengamuk tehnya dan burrr... kutumpahkan air teh bercampur segala kecewa dan kesal ke bajunya. Mas Sandi berlari terburu buru ke arah kami. Tampak olehku guratan kecewa terlukis di wajahnya.
Aku menjadi linglung. Pertunangan yang kuharapkan jauh dari nyata. Mataku kabur, pikirku kacau, semuanya menjadi tampak gelap. Yang terdengar suara kepanikan, suara rintihan menahan sakit, suara perdegilan, cemoohan kasar membelenggu. Aku terperdaya amarah. Aku kalah. Aku hilang akal. Aku benar benar pusing. Ak..akuu.. tak tahu lagi..

***

Tesis ini benar-benar membuatku gila. Entah apalagi yang meski kutuangkan. Seluruh fikirku sudah terkuras habis untuk mengerjakannya. Kulirik keluar jendela, tampak suasana kota Jakarta yang riuh. Bunyi klakson kendaraan yang bersahutan. Tiba-tiba hpku berdering. Bukan pesan ataupun panggilan masuk melainkan bunyi alarm. “Pemberkatan di gereja pukul 15.00”. Begitulah tulisan dilayarnya. Aku menahan nafas sebentar. Tiba tiba tetesan bening mengalir dari sudut mata. Aku sesugukan. Sore ini orang yang amat kucintai akan melangsungkan pernikahan dan pemberkatan digereja. Yang pastinya bukan aku pengantinnya. Mas Sandi, lelaki yang pernah merajai hatiku, bahkan sampai sekarang pesonanya tidak pernah rapuh. Dia akan menikah dengan perempuan yang sudah pasti disenangi ayahnya. Yang tentunya tidak suka mendebat, dan melawan sepertiku. Setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, walaupun dengan rentetan air mata di wajahnya, walaupun dengan sejuta rasa kecewa. Kemudian aku melanggeng terbang ke udara Jakarta. Kini dirinya bukan milikki lagi. Aku telah terhempas jauh bahkan terlampau jauh. Aku tak bisa lagi meraihnya. Biarlah doa yang mengiringnya ke altar suci,dan menerangi hidup baru yang ia mulai hari ini. Bersama jodoh sejatinya.